RUMAH BACA JALAPUSTAKA

"Menjala Dunia Dengan Membaca"

Subscribe
Add to Technorati Favourites
Add to del.icio.us
13 Mei 2010

Sepeda Pustaka Pekalongan : Genjotan keHIDUPan oleh Daurie

Diposting oleh jalapustaka

Kedungwuni Timur, 13 km pinggiran Pekalongan, Taman Baca Jala Pustaka. Rumahnya penulis fiksi fantasi Indonesia bernama Adi Toha – novel debutannya Valharald – disulap mirip acara kawinan dgn tenda di seperempat badan jalan. Terbayang serunya kegiatan 3 hari ke depan di otakku. Link Site Taman Baca Jala Pustaka, silakan intip blognya hhttp://jalapustaka.blogspot.com/

Selepas perjalanan 3 jam dari Boja – Kendal, istirahat tarik napas sebentar, pesulap dari Swiss produk Boja langsung performance, apa aja sulapannya pasti rame dan yang penting tepuk tangan. Selanjutnya langsung ngegowes sepeda jepang, Pekalongan lagi demam sepeda Jepang – sepeda perempuan dengan keranjang di depannya – bersama 40 anak-anak Kedungwuni.



Pasar, Rumah Sakit, Pegadaian, Taman Makam Pahlawan
Siang panas terik tetap semangat, pasar yang disambangi kebanyakan pedagangnya tutup, akhirnya perjalanan lanjut menuju kantor pegadaian. Kedatangan serombongan anak-anak naik sepeda dan panitia yang pegang TOA berujung kecurigaan, bukan sambutan hangat yang diberikan, namun pertanyaan, “Mau demonstrasi yah ?” … hahaha …

Di halaman pegadaian obrolan mengalir, anak-anak dijelaskan tentang pegadaian dan bedanya dengan rentenir, aku juga baru tau kalo ternyata wayang juga termasuk barang yang boleh digadaikan.

Setelah anak-anak menuliskan pengalaman mereka di Pegadaian, perjalanan dilanjutkan menuju Rumah Sakit Islam Muhammadiyah, kalo di sini lebih asik, disediakan ruang AC nan sejuk, minuman dingin dan kue. Manajemen rumah sakit menjelaskan beragam profesi yang terkait dengan medis, anak-anak mencatatnya dengan semangat, siapa yang bertanya dapat door prize. Pelayanan prima manajemen RS, semua anak disediakan minuman dingin dan kue … Kereeennn….



Tujuan akhir hari itu adalah Taman Makam Pahlawan, perjalanan ini cukup berat karena naik turun tanjakan dan treknya panjang, hasilnya sampai lokasi makam sebagian peserta dan panitia tergeletak dengan baju basah. Sore itu cuaca menyengat, kami juga masih adaptasi dengan sepeda dan cuaca Pekalongan yang panas.

Aku tak beruntung hari pertama Sepeda Pustaka, sepeda yang kutunggangi sadelnya rusak dan bergoyang lincah, cuma sebelah pantat yang bergantian menapak di sadel, hasilnya bukan kakiku yang pegal, justru pantat yang kesemutan. Sehabis maghrib perjalanan diakhiri di Taman Baca Jala Pustaka, agak seram perjalanan sehabis gelap karena gak ada satupun sepeda yang berlampu.

Malam Pertama : Bedah Buku Perdana Valharald & Bibliotheraphy
Setelah istirahat, obrolan diskusi sastra digelar malam itu dengan beragam tema, bedah buku novel fiksi fantasi “Valharald” hasil mimpi Adi Toha yang diperpanjang, malam itu dikhawatirkan novel bergenre fiksi fantasi melalui proses kreatif mimpi tersebut kemungkinan besar akan diletakkan di rak Primbon/Klenik di toko-toko buku besar, mereka memang kadang suka salah meletakkan buku, buku fiksi boleh jadi diletakkan di rak buku psikologi, buku puisi bisa nyasar di rak buku ekonomi.

Nisa [Komunitas Esok Surabaya] juga menggelar tema Bibliotheraphy, membaca bisa jadi terapi buat stres ringan, gak berlaku terapinya buat trauma/phobia akut. Obrolan menjelang larut malam itu menganugerahkan penghargaan buat Nisa dengan gelar “Psikolog Sastra Stres”

Yoga Pinggir Kali Ketemu Alien
Pagi hari dibangunkan telepon Opang [Nature Trekker, Penulis Pengelana, Indonesia Bertindak] yang ternyata sudah berdiri di depan pintu TBM Jala Pustaka. Aktifitas pagi hari gak kalah asiknya, kalo event ada makhluk bernama Sigit, pagi – pagi selalu ada ritual Yoga, kali ini istimewa, yoganya di pinggir sungai besar nan jernih di halaman belakang sebuah Madrasah. Opang yang datang pagi-pagi dari Jakarta, langsung ikut melemaskan badan bersama kawan-kawan, biar makin hot kalo nanti ngegenjot sepeda.

Di sela Yoga, lewat seorang pencari pasir dan batu sungai dengan ban dalam bekas truck yang super besar di atas kepalanya. Mirip Alien dari film star trek.

Selesai yoga lanjut dengan sarapan nasi megono di pinggir kali, tak terlukis dengan kata – kata, nuansa sarapan pagi seperti ini tak mungkin dilakukan di pinggiran kali ciliwung di Jakarta yang udah hitam dan bau.



Menelusuri Jejak Max Havelaar sambil menikmati Kopi & Teh Max Havelaar
Awalnya sekedar ngumpul pagi jelang siang, Kang Ubai membuka obrolan soal Taman Baca Multatuli yang dikelolanya di Lebak Banten. Akhirnya kusambut dengan membuka diskusi resmi, sebab Kang Ubai besok malam harus pulang ke Lebak.

Sesajen disiapkan, kopi dan teh Max Havelaar dari Belanda yang dititipkan pejalan dari Swiss produk Boja diseduh. Poster Max Havelaar digelar. Moderator sastra mulai “on” setelah meneguk kopi nikmaaatt…

Kang Ubai mengalirkan cerita, nun jauh di kampung bernama Satap – Ciseel [Lebak – Banten], belum ada listriknya, seorang guru bernama Ubai membuka taman baca “Multatuli”, jejak Multatuli memang bertebaran di Banten berikut kontroversinya, dia dianggap penjajah, namun juga pembela pribumi.

Menarik karena Kang Ubai memulai langkah serius bersama 16 orang murid SLTP, membikin “Reading Group Multatuli”, aktifitas serius yang tak cuma sekedar ngumpul dan membaca buku bersama, namun membedah setiap jejak yang tertulis di helai demi helai buku. Mereka menelusuri bekas rumah Multatuli yang sekarang tinggal temboknya di belakang Rumah Sakit. Link blognya http://readingmultatuli.blogspot.com/

Mungkin ini adalah reading group Multatuli pertama dan satu-satunya di Indonesia dan di negeri Belanda sekalipun tak terdengar santer kabarnya ada reading group Multatuli. Dilakukan sekumpulan murid SLTP dan gurunya, di sebuah Taman Baca nun jauh di perkampungan yang gak ada listriknya. Tepuk tangan buat Kang Ubai….prikitiiiiwww… intip buku mukanya di link http://www.facebook.com/profile.php?id=1500706260

Dikawal Patroli Polisi : Museum Batik, Pantai dan Akuarium Besar
Jalur sepedaan hari kedua memasuki kota Pekalongan, jumlah anak yang ikut bertambah jadi sekitar 65 orang, berhubung melewati perkotaan dengan banyak persimpangan dan lalu lintas padat, maka diputuskan perjalanan hari itu dikawal patroli polisi bermobil, lengkap dengan sirine dan lampu kelap – kelip, seru sekali berasa seperti sekumpulan manusia penting, sesekali merasa jadi orang penting tak apa – apalah, anak – anak pinggiran perkotaan selama ini terbiasa digilas beragam kepentingan atas nama rakyat.



Alamak !! … kalo di kota besar cuma mobil pejabat dan rombongan motor gede milik orang-orang super kaya yang dikawal polisi. Maka di Pekalongan serombongan mahkluk bersepeda BMX, onthel, dan sepeda jepang juga dikawal patroli polisi bermobil, anak-anak girang bukan main, 13 kilometer PP gak berasa menggenjot sepeda. Sambutan warga Pekalongan sepanjang jalan juga gak kalah seru, mirip rombongan artis yang tebar senyum dan lambaian tangan dadah-dadahan sepanjang perjalanan.

Sampai di museum Batik peserta dihitung ulang, takut ada yang hilang di perjalanan. Es lilin warna – warni dibagikan segarkan tenggorokan. Gak semua orang Pekalongan pernah menginjakkan kaki di museum batik, meski Pekalongan terkenal dengan kota Batik, peserta bolehlah berbangga, Balya [Panitia, Jala Pustaka] juga bikin pengakuan bahwa dari kecil sampai dia sekarang kuliah, baru kali ini ke museum batik.

Di museum ini gak bebas foto – foto, takut design batiknya dicuri, trauma sama negeri tetangga. Akhirnya disepakati bahwa kami boleh foto kegiatan anak-anak di dalam museum. Aku sempat berdebat dengan satpam museum karena memfoto seorang anak yang menulis persis di depan batik, dicurigai memfoto design batiknya.



“Kegiatan ini jelas menunjukkan penghargaan kami atas budaya, anak-anak menuliskan pengalaman mereka tentang batik, kalo saya mau mencuri design batik sih gampang, ada banyak bukunya di toko buku atau searching di google. Paranoid yang kurang cerdas, lagipula kalo soal design batik dicuri, bukannya emang udah kejadian ?, kemana aja selama ini ?”, begitulah semburan argumenku.

Aku akhirnya menunjukkan hasil fotoku yang ada di kamera pada penjaga museum, langsung di depan biji matanya dan memintanya menunjukkan foto mana yang pantas dicurigai ?, hasilnya nihil. Aku jadi gak mood berlama-lama di dalam museum dan memilih nongkrong di teras disambut hujan deras.

Aku terkaget-kaget melihat seorang Bapak naik sepeda basah kuyup kehujanan, rupanya Bapaknya Adi Toha menyusul, beliau khawatir dengan perjalanan kami karena cuaca mendung, beliau menggenjot sepeda sendirian 13 kilometer dan kehujanan. Salut sama bapaknya Adi Toha yang selalu menjaga dan memperhatikan kami semua selama berada di rumahnya dan selama berkegiatan.

Perjalanan kemudian dilanjutkan ke Pantai, lokasi wisata bahari. Hujan reda menyisakan gerimis, aku suka udara sejuknya, genjotan sepeda jadi makin yahud. Anak – anak kemudian mengunjungi museum ikan air tawar dan laut. Berjumpa dengan hiu putih, belut laut, dan beragam ikan lainnya.

Dalam perjalanan menuju pulang ada juga kejadian unik sekaligus menyebalkan, 3 [tiga] orang anak seusia SLTP dengan dandanan ala Punk mencegat sepeda anak-anak dan langsung membonceng. Aku teriak dari belakang kalo mereka boleh numpang boncengan tapi mereka yang menggenjot sepedanya, kasihan anak-anak kecapekan sepanjang siang dan sore menggenjot sepeda. Seorang dari mereka berlari menuju ke arahku, tanpa permisi meloncat ke sadel belakang. Kurang asem anak ingusan ini, keliaranku bangkit, langsung kuhentikan sepeda dan kutarik kerah baju, kududukkan di sadel depan dan menyuruhnya mengayuh.

Kali ini cecunguk kecil kena batunya, dipikirnya aku takut sama dandanan ala film The Crow. Anak-anak yang kuurusi di jalanan Jakarta jauh lebih sangar, sekali gentak cecunguk kecil itu udah loyo. Kalo gak mikir panjang, sudah kusikat bajindul kecil bergaya selangit itu di jalanan.

Ternyata Polisi Sastra
Perjalanan hari itu kembali kemalaman di jalan, pukul 7 malam kami baru sampai kembali ke base camp TBM Jala Pustaka. Polisi yang mengawal dengan mobil patroli akhirnya mengawal kami kembali, Polisi itu ternyata juga penggemar bacaan sastra, malah sempat berbincang dengan Adi Toha di ruang taman bacanya. Akhirnya Adi Toha membubuhkan tanda tangan pertama di novel debutannya untuk Bapak Polisi yang baik hati. Kami beri penghargaan gelar “Polisi Sastra”

“Ini tanda tangan pertama untuk novel saya lho, Pak. Novelnya baru dibedah publik pertama kali nanti di Yogya, belum resmi ndiluncurkan”, ujar Adi Toha yang disambut Polisi Sastra dengan girang.

Mengurai Komunitas Pejalan & Membedah Kafka di Tepi Jalan Kedungwuni
Malam kedua, Marawis membuka parade diskusi di tenda pinggir jalan. Aku terkenang masa kecilku di Kalimantan, aku dulu vokalis grup Marawis kalo lagi ada hajatan maulid di kampungku.



Sesi diskusi malam itu membedah buku terjemahan Kafka “Proses” oleh Sigit, dilanjutkan Opang yang bertutur tentang komunitas pejalan yang suka bikin catatan perjalanan. Diskusi hangat mengalir menuju malam, beragam obrolan mengenai perjalanan Sigit menyambangi beragam negara di dunia, buku catatan perjalanan pertamanya “Menyusuri Lorong-Lorong Dunia” merangkum catatan perjalanan 12 negara. Buku keduanya merangkum perjalanan 7 negara. Opang malam itu juga tampil ciamik dengan kisah komunitas tukang jalan-jalan.

Kapal Titanic di Bendungan, Rumah Baca Pintar, dan Masjid Kranji
Pagi hari ketiga, selepas Opang berpamitan balik ke Jakarta. Aku, Tommas, “Satria Berkuda” Adi Toha, dan Sigit menyusuri jalanan pinggiran sungai menuju Bendungan besar di Kedungwuni. Adi Toha mengisahkan mitos bahwa pernah ada seorang nelayan pemancing ikan yang kemalaman dan dikejar kapal sebesar Titanic di sungai itu, makanya selepas maghrib gak ada penduduk yang berani nongkrong di sana. Penutur kisah adalah seorang penulis novel fiksi fantasi, maka aku dan Tommas memakluminya.



Menjelang siang hujan turun deras, anak-anak yang siap berkumpul akhirnya bermain di taman baca dan kemudian pulang sebentar buat makan siang dan menunggu hujan reda. Beruntung cuaca mulai bersahabat, selepas dzuhur acara sepedaan digelar lagi, kunjungan pertama ke Rumah Baca Pintar yang lokasinya dekat dengan Jala Pustaka, rumah baca mandiri yang didirikan sebuah keluarga sederhana, aktifitasnya keren dan aku suka. Link group FB Rumah Baca Pintar http://www.facebook.com/group.php?gid=388960500032

Sehabis mengunjungi Rumah Baca Pintar, berjalan lagi ke mesjid Kranji yang lokasinya juga berdekatan, anak – anak belajar tentang historis mesjid tersebut ditemani seorang ustadz yang memotivasi anak – anak agar rajin membaca.

Surveyor Bajindul yang Harus Dicuci Otaknya
Aku waktu itu memutuskan kembali lagi dan menunggu di Rumah Baca Pintar karena ada yang harus kuluruskan tentang Rumah Baca/Taman Baca yang mereka kelola sungguh sangat mandiri dan layak jadi percontohan. Aku ceritakan tips mendapatkan buku gratisan atas nama pertemanan dan jaringan. Aku menekankan kreatifitas yang bisa dibuat dalam kegiatan. Ini gara – gara ada makhluk sok tahu yang jadi surveyor event dan sempat “kecelakaan” ngomong gak karuan tentang beragam program pemerintah yang sebenarnya melemahkan dan gak mendidik kemandirian.

Lantang kukatakan, makhluk sejenis itu gak terlalu tulus, mereka mendompleng kegiatan demi mendapat angka kredit buat naik pangkat. Mereka seakan berbaik hati dan berusaha merayu pengurus taman – taman baca buat mengajukan proposal permintaan bantuan buku, kelak akan mereka jadikan program anggaran pengadaan buku yang juga sama gak jelasnya. Dasar makhluk Bajindul yang harus dicuci otaknya, meminjam istilah Sigit, makhluk sejenis itu memang layak disebut “Bajindul”. Aku suka aja, meski gak tau arti persisnya, kayaknya enak aja kalo diucapkan lidah, terkesan lucu dan menggelikan … Bajindul !! … hehehe …

Tukang Tenun Rp. 1200 Rupiah/Meter
Genjotan selanjutnya menuju perajin ATBM [Alat Tenun Bukan Mesin], cukup jauh jaraknya dan tetap asoy sebab melintasi jalan alternatif yang pemandangannya menghijau. Sesampainya di lokasi perajin tenun tradisional, anak – anak terlihat semangat, beberapa dari mereka bahkan mengkudeta dan langsung mencoba alat tenun, hasilnya jelas bikin pusing penenun yang polanya jadi amburadul.



Penenun rata – rata berusia muda, kisaran usia SLTP, tak sekolah dan terpaksa bekerja, gajinya Rp. 1200 per meter, sehari maksimal mereka bisa menghasilkan tenunan 8 s.d. 10 meter, waktu kerjanya jam 7 pagi s.d. 4 sore. Artinya upah harian mereka rata – rata Rp. 9600, -. Maksimal seharinya upah mereka Rp. 12000, -.

Banyak anak – anak peserta yang membisu ketika mendengar percakapanku dengan pekerja anak di sana. Akupun seperti berada di negeri antah berantah, meski kakiku memijak bumi realitas. Ada yang menggayut berat di dalam dadaku, entah apa namanya ?

Lokasi terakhir adalah pabrik kain dengan alat mesin, aku seperti memasuki zaman puluhan tahun lampau melihat peralatan mesin yang digunakan. Pekerja di sini rata – rata usianya dewasa dan terlatih, upah mereka tak beda jauh dengan tukang tenun manual, hasil kerjanya dihitung berdasarkan panjang kain yang mereka bisa hasilkan serta warnanya.

Sulapan Malam, Wartawan Sastra, Photography, dan Obrolan Cerpen
Malam terakhir sebelum parade diskusi dimulai, kami menepati janji buat main sulap di Rumah Baca Pintar. Audiens ternyata membanjir, kamera Tommas tak sanggup memotret semua kepala anak – anak yang hadir.

Aku dan Sigit memainkan duet teater kreasi dadakan sebelum Sigit tampil menjelma magician. Tetap saja kupromosikan Sigit adalah pesulap yang datang dari Swiss, biar anak – anak makin terkesima, kok ada Pesulap dari Swiss bahasa jawanya lancar banget … hahaha … Sulapan malam itu sukses berat, audiens dari anak – anak Madrasah Ibtidaiyah memenuhi halaman rumah.

Diskusi malam terakhir di Pekalongan memperkenalkan profesi Wartawan buat anak – anak, Kang Dalal [Radar Pekalongan] dan Mas Burhan [Suara Merdeka] bersama Heri CS [Jurnal Nasional]. Anak – anak malam itu disuguhkan cerita tentang alternatif profesi, hangat dan meriah diskusinya, nara sumber adu keras suaranya dengan suara mobil dan motor yang lewat persis di sisi panggung. Itulah keunikan dan kesan tiada duanya obrolan di Kedungwuni, dilakukan untuk bisa sedekat mungkin dan menyatu dengan kehidupan masyarakatnya, makanya dibikin di dekat jalan raya, biar gak cuma resepsi kawinan aja yang bisa pasang tenda, orang berdiskusi juga bisa pasang tenda.

Obrolan selanjutnya pindah lokasi ke dalam ruang Jala Pustaka, Tommas [Photographer Hukum Sastra] malam ini berhasil mematahkan mitos di kepala seorang peserta bernama Leni [Limbangan – Boja], bahwa lelaki gondrong ternyata identik dengan bakat dan kemampuan mumpuni. Tommas memang anak muda bertalenta di bidang photography, di benakku dia kelak akan jadi Photographer handal negeri ini.



Kawan – kawan penulis Pekalongan dan Yogya juga meramaikan suasana, gara – gara obrolan Dwi Cipta [Yogya, karib Shiho] aku jadi terkenang Shiho, apa kabarnya di Jepang sana ? … aku pakai celana batik pemberianmu di event ini. Malam itu boleh dibilang diskusi terpanas sepanjang event, obrolan menukik tajam dan tetap kritis, apalagi ditimpali komentar dari jurnalis – jurnalis muda. Hasil diskusi dan obrolannya tayang di edisi harian Suara Merdeka, contekan beritanya bisa dibaca di catatan FB Adi Toha http://www.facebook.com/jalaindra#!/notes/adi-toha-jalaindra/rumah-baca-jala-pustaka-demi-pembaca-ruang-tamu-digusur/386617135678 .

Kawan penyair bernama Catur, malam itu ditahbiskan menjadi Penyair maraton 7 kilometer, sebab dia pernah melakukan pembacaan puisi maraton sepanjang 7 kilometer. Ide menarik, unik, dan kreatif.

Tulisan semua anak – anak peserta event nantinya akan dikumpulkan dan dijadikan buku, seperti biasa buku akan dicetak sendiri, dibagikan untuk peserta dan kawan – kawan yang berminat. Tujuan kegiatan ini memang agar anak – anak bisa menuliskan apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan dengan pikiran mereka sendiri. Sikap dan pikiran kritis yang ingin ditularkan pada anak – anak peserta dengan melihat dan merasakan langsung beragam profesi serta kenyataan di lingkungan mereka sendiri.

Gelaran event tahunan di Taman Baca sindikat pertemanan di Pekalongan penuh keunikan, kesederhanaan, namun menggigit. Pekalongan [Jala Pustaka] menjadi tuan rumah tahun ini, tahun 2008 dilakukan di Pondok Maos Guyub [Boja – Kendal], dan tahun 2009 di Istana Rumbia [Wonosobo].

Kegiatan yang menginjak tahun ketiga ini berjalan dalam sunyi, tanpa nama, tanpa sponsor, tanpa niat publikasi, semuanya berjalan atas nama pertemanan dan kesamaan keinginan untuk bisa berbuat sekecil apapun. Kawan – kawan yang jadi panitia dan nara sumber datang dari Pekalongan, Jakarta, Surabaya, Semarang, Bogor, Lebak – Banten, dan Yogya. Semuanya relawan, hadir atas nama pribadi, meski berasal dari beragam profesi dan komunitas.

Terima kasih buat Adi Toha, Balya, dan segenap keluarga besar Jala Pustaka serta warga Kedungwuni. Kalian semua luar biasa, hangat, ramah, dan bikin betah selama di Pekalongan.

Sampai ketemu tahun depan di Taman Baca Multatuli [Lebak – Banten], menyusuri jejak Multatuli bersama reading group Max Havelaar, tentunya sambil minum kopi Max Havelaar … toast … cheers …

10 April 2010

Sepeda Pustaka: Pekalongan Dalam Catatan dan Sastra

Diposting oleh jalapustaka

Sepeda Pustaka: Pekalongan Dalam Catatan”, adalah rangkaian diskusi sastra budaya dan rangkaian kegiatan bersepeda mengunjungi bermacam-macam tempat di Pekalongan baik wilayah kabupaten maupun kota madya yang memiliki nilai sejarah, ekonomi, budaya dan sosial. Dari hasil kunjungan ke tempat-tempat tersebut nantinya kami akan membuat sebuah catatan perjalanan yang akan kami bukukan sebagai sebuah dokumentasi tertulis salah satu sisi tentang Pekalongan.

Kegiatan ini akan diselenggarakan pada :

Hari/ tanggal : Jumat – Minggu / 23 – 25 April 2010
Pusat kegiatan : Rumah Baca Jala Pustaka
Jl. Raya Kranji No. 02 Kedungwuni Timur Kabupaten Pekalongan

Acara ini terbuka untuk siapapun, anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua, selama masih bisa mengayuh sepeda, mari kita bersepeda.

Hari I, Jumat, 23 April 2010 (13.30 – 18.00)

Jalapustaka - Pasar Kedungwuni - Pegadaian Kedungwuni - Rumah Sakit Islam Pekajangan - Taman Makam Pahlawan Bhakti Wiratama (Bojong) - Bendungan Irigasi Kletak - Jalapustaka


Hari II, Sabtu, 24 April 2010 (13.30 – 18.00)

Jalapustaka - Pengrajin Celana Jeans, Paesan - Masjid Sapuro - Masjid Agung Pekalongan - Museum Batik Pekalongan - Pantai Pasir Kencana, Pelabuhan Perikanan Nusantara Pekalongan - Jalapustaka


Hari III, Minggu, 25 April 2010 (10.00 s/d Selesai)

Jalapustaka - Masjid Kranji - Makam Ki Ageng Rogoselo, Makam Ki Gede Penatas Angin, Petilasan Syekh Siti Jenar, Arca Baron Sekeber (Doro) - Sentra Pengrajin Tenun ATBM (Buaran) - Jalapustaka


Jadwal Diskusi SEPEDA PUSTAKA


Jumat, 23 April 2010 (18.30 S/d Selesai)

Bedah Novel : Valharald
Oleh : Adi Toha (penulis novel, Pekalongan)

Diskusi : Buku, Sastra dan Catatan Perjalanan
Oleh :
- Sigit Susanto, (Penulis, traveler, Swiss)
- Noval Kurniawan (Klub Penulis Pengelana, Jakarta)

Diskusi : Literasi yang Menyembuhkan
Oleh : Nisa Ayu Amalia (Komunitas Esok, Surabaya)


Sabtu, 23 April 2010 (18.30 S/d Selesai)

Diskusi : Creative Writing : Menulis Puisi, Cerpen dan Novel
Oleh :
- Dwicipta (Cerpenis, Jogjakarta)
- Aveus Har (Penulis, Pekalongan)
- Shofa Muhammad (Cerpenis, Pekalongan)

Diskusi : Diskusi Literasi dan Rumah Baca Masyarakat
Oleh :
- Sigit Susanto (Pondok Maos Guyub, Kendal)
- Adi Toha (Rumah Baca Jalapustaka, Pekalongan)
- Ayi (Perpustakaan Sahara, Pekajangan)
- Gendhotwukir (Rumah Baca Komunitas Merapi, Magelang)
- Ubaidilah Muchtar (Taman Baca Multatuli- Lebak/Banten)
- Ardabili – (Rumah Baca Pintar, Kranji)
- Maria Bo Niok (Istana Rumbia, Wonosobo)
- dan perwakilan dari rumah baca yang hadir


Minggu, 24 April 2010 (18.30 S/d Selesai)

Diskusi : Sastra Pelajar dan Remaja Pekalongan
Oleh : Yosi (ketua FLP Pekalongan)

Diskusi : Menjadi Wartawan
Oleh :
- Burhan (Suara Merdeka)
- Dalal Muslimin (Radar Pekalongan)
- Heri CS (Jurnal Nasional)

Diskusi : Pengenalan, Tips dan Trik Fotografi
Oleh : Tommas Titus Kurniawan (Fotografer, Semarang)


Rute menuju Rumah Baca Jalapustaka :
Dari Arah Timur (Semarang, Jogja) dan Barat (Bandung, Jakarta)
Bus jurusan ke Jakarta, turun di Ponolawen, naik angkot jurusan kedungwuni, turun di Pasar Kedungwuni, naik angkot yang sama, turun di Rumah baca Jalapustaka

Kereta, turun di stasiun Pekalongan, menyeberang ke Pom Bensin Depan Pasaraya Sri Ratu, naik angkot jurusan Kedungwuni, turun di Pasar Kedungwuni, naik angkot yang sama, turun di Rumah baca Jalapustaka.


14 Februari 2010

(Pre-Launch) Sepeda Pustaka

Diposting oleh jalapustaka

Di tengah maraknya isu pemanasan global dan semakin berkurangnya sumber bahan bakar minyak (BBM), sangat patut kiranya ketika kita mempertimbangkan kembali penggunaan sepeda sebagai alat transportasi yang merakyat dan ramah lingkungan.

Banyak manfaat yang bisa diambil ketika kita menggunakan sepeda dalam bertransportasi. Selain lebih menyehatkan bagi penggunanya, bersepeda juga lebih hemat energi dan hemat biaya. Sepeda tidak menimbulkan polusi udara, sehingga ramah lingkungan. Bersepeda bisa dilakukan oleh semua kalangan. Bersepeda tidak menimbulkan kemacetan yang berlebihan. Di tengah maraknya penggunaan sepeda motor, keberadaan sepeda kuno yang bisa jadi memiliki nilai sejarah menjadi terabaikan, oleh karena itu kegiatan bersepeda juga bisa menjadi sebuah gerakan untuk pelestarian budaya.

Aktifitas bersepeda, jika diorganisasikan dan dikelola dengan baik bisa menjadi sebuah wisata alternatif. Dengan bersepeda mengunjungi tempat-tempat tertentu, melewati jalur-jalur tertentu, orang akan merasakan kenikmatan dan kepuasan tersendiri, yang bisa jadi jauh lebih menyenangkan daripada ketika menggunakan sepeda motor atau transportasi lainnya. Karena itu kampanye budaya bersepeda perlu diwujudkan sebagai sebuah gerakan budaya. Jika budaya bersepeda ini sudah menjadi gerakan massal, maka orang tidak akan malu lagi naik sepeda. Sepeda akan kembali menempati fungsi dasarnya sebagai alat transportasi yang merakyat, hemat dan ramah lingkungan.

Berdasarkan uraian singkat di atas maka kami, Rumah Baca Jalapustaka, sebagai sebuah organisasi atau komunitas masyarakat yang bergerak di bidang pendidikan, budaya dan sosial kemasyarakatan, berikhtiar dengan mengadakan acara bertajuk: “Sepeda Pustaka: Pekalongan Dalam Catatan”. Kegiatan tersebut adalah rangkaian diskusi sastra budaya dan rangkaian kegiatan bersepeda mengunjungi bermacam-macam tempat di Pekalongan baik wilayah kabupaten maupun kota madya yang memiliki nilai sejarah, ekonomi, budaya dan sosial. Dari hasil kunjungan ke tempat-tempat tersebut nantinya kami akan membuat sebuah catatan perjalanan yang akan kami bukukan sebagai sebuah dokumentasi tertulis salah satu sisi tentang Pekalongan.

Kami berharap kegiatan ini bermanfaatn baik bagi para peserta khususnya maupun bagi Pekalongan pada umumnya. Karena kegiatan ini merupakan upaya untuk mengenalkan dan menginformasikan potensi pariwisata daerah Pekalongan kepada masyarakat baik lokal maupun nasional.

Kegiatan ini akan diselenggarakan pada :

Hari/ tanggal : Kamis – Minggu / 22 – 25 April 2010
Pusat kegiatan : Rumah Baca Jala Pustaka
Jl. Raya Kranji No. 02 Kedungwuni Timur Kabupaten Pekalongan

Acara ini terbuka untuk siapapun, anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua, selama masih bisa mengayuh sepeda, mari kita bersepeda.

Rute Hari 1 : 23 April 2010 (Pkl. 13.30 - 18.00)
Jalapustaka – Pasar Kedungwuni – Rumah Sakit umum Pekajangan – Pabrik Sarung Tenun Tradisional dan Modern – Perpustakaan Sahara - Pegadaian Kedungwuni – Pabrik Tekstil Wonopringgo – Makam Pahlawan Bhakti Wiratama Bojong – Waduk irigasi Wonopringgo – Jalapustaka

Rute Hari II : 24 April 2010 (Pkl. 13.30 - 18.00)
Jalapustaka – Pismatex – Pantai Pasir Kencana – Pelabuhan Perikanan Pekalongan – Masjid Agung Pekalongan – Masjid & Pemakaman Sapuro – Pengrajin emas Paesan – Pengrajin celana Jeans – Jalapustaka

Rute Hari III : 25 April 2010 (Pkl. 10.00 - 18.00)
Jalapustaka – Masjid Kranji – Makam Syekh Siti Jenar, Makam Ki Ageng Rogoselo, Makam Ki Gede Penatas Angin dan Arca Baron Sekeber di Doro – Pabrik & Perkebunan Teh Jolotigo - Sentra Pengrajin Batik Buaran – Pabrik Batu Bata Kwayangan – Makam Cina – Jalapustaka

Pada malam harinya, acara akan disertai dengan rangkaian diskusi buku, sastra, literasi dan lain-lain dengan beberapa tema dan pembicara.

Jadwal, tema dan pemateri diskusi akan diberitahukan menyusul...

Kami akan sangat berterima kasih jika kawan-kawan pembaca blog ini berkenan untuk memberikan donasi kepada penyelenggara demi keberlangsungan dan kelancaran acara ini. Donasi bisa dikirimkan kepada kami lewat:

No. Rek : 0893-01-000959-50-9
BRI Cabang Unpad a.n. Adi Toha

No. Rek : 1390010181067
Bank Mandiri Cabang Pekalongan a.n. Adi Toha

Paypal: jalaindra@gmail.com






Annida-Online–Siapa saja boleh datang, baca buku bahkan membawanya pulang tanpa dipungut bayaran. Rumah Baca Jalapustaka di Jalan Raya Kranji Kedungwuni Timur 02 RT 01/ RW 09 Kedungwuni, Pekalongan menyediakan buku-buku koleksi pribadi pendirinya, kakak-beradik Adi Toha dan Balya untuk dipinjam masyarakat Pekalongan. Dari anak-anak, remaja bahkan orang tua boleh pinjam dan tak perlu mendaftar sebagai anggota rumah baca. Cukup mencatatkan diri pada buku peminjaman, dan mengembalikannya tepat waktu.

Selain gratis meminjam buku, pembaca Jalapustaka juga beroleh pelatihan internet seminggu sekali. Program Jalapustaka kerjasama dengan salah satu warnet di Pekalongan ini sudah dimulai sejak bulan 24 April 2009. Menurut Adi Toha, pelatihan ini penting untuk mengenalkan internet dan penggunaannya kepada para pembaca Jalapustaka yang kebanyakan adalah anak-anak usia sekolah.

“Sementara ini belum mengarah ke aktifitas ngeblogg atau yang lain, baru sebatas pengenalan dan pemanfaatan internet dengan baik dan benar. Pendampingan oleh personel dari warnet tersebut yang kebetulan caredengan apa yang dilakukan oleh Jalapustaka, dan oleh adik saya,” tutur Adi, konseptor sekaligus bertindak mengupayakan pengadaan buku dan jaringan dengan komunitas literasi lain.

Usia Jalapustaka sendiri masih batita lho, lahir 15 Oktober 2008 lalu atas prakarsa Adi. Pria 27 tahun yang sehari-hari bekerja di Bandung, menyerahkan pengelolaan rumah bacanya pada sang adik, Balya. Selama setahun beroperasi, Jalapustaka mencatat sudah ada kurang lebih 1.000 peminjaman. Koleksi awal Jalapustaka sekitar 500 judul buku, dan terus bertambah hingga kini ada 700-an. Sebulan sekali atau jika Adi pulang ke Pekalongan, ia mengirim atau membawa buku-buku dari Bandung. Ada juga sumbangan dari kawan-kawan Adi, atau komunitas literasi lainnya. Mayoritas koleksi Jalapustaka berupa buku-buku nonfiksi terutama karya sastra. Sayangnya, pembaca Jalapustaka lebih tertarik pada buku cerita anak-anak maupun komik, yang jumlahnya masih terbatas.

Pendirian Jalapustaka menurut Adi, diniatkan sebagai ladang amalnya. Adi mengaku, yang ia punya hanyalah buku dan ia ingin membagikan ilmu-ilmu dari buku tersebut kepada masyarakat. “Lagipula belum ada perpustakaan representatif yang mudah diakses oleh semua kalangan. Masyarakat di sini kan masih banyak yang kurang mampu, masih sulit untuk beli buku. Supaya koleksi buku-buku saya bermanfaat, bisa dinikmati juga oleh orang banyak, saya dirikan Jalapustaka ini. Jala berarti jaring, sedangkan pustaka berarti buku atau dunia. Kami upayakan menjaring semua golongan untuk memerangi kebodohan dengan banyak membaca,” beber Adi.

Oh ya, di samping kegiatan reguler pelatihan internet itu, Jalapustaka juga menggelar kegiatan lain yang bersifat kondisional. Umpamanya latihan membaca puisi sebagai persiapan lomba agustusan. Lantas, ada pula pemutaran film yang menggugah seperti Laskar Pelangi belum lama ini.

Sekarang ini, Adi dkk tengah menyiapkan konsep “Sepeda Sastra” yang diagendakan berlangsung tahun depan. Dalam “Sepeda Sastra” ini, Jalapustaka menggandeng komunitas lain yakni Pondok Maos dari Kendal. Nantinya, pembaca Jalapustakan yang masih duduk di bangku SD, SMP dan SMA dan peserta dari komunitas lain diajak bersepada keliling Pekalongan. Tak cuma sekadar olahraga atau bersenang-senang, namun ada target tersendiri. Apakah itu?

“Dua tahun kemarin saya dan kawan penggiat literasi di Kendal telah menguji coba konsep ini di sana, tahun depan giliran diujicoba di Pekalongan. Output dari kegiatan Seped a Sastra ini adalah para peserta bisa menulis sekaligus menginformasikan objek-objek lokal yang memiliki potensi sosial/ekonomi budaya kepada publik. Di Kendal sudah menghasilkan output fisik berupa sebuah buku kumpulan catatan perjalanan dari peserta dan peserta tamu, " urai Adi, yang juga seorang penulis dan telah menerbitkan dua kumpulan cerita anak bareng beberapa penulis lain. [Esthi/foto: dok. Jalapustaka]

dikopas dari situs annida-online

22 Mei 2009

Perpus Jala Pustaka Kurang Koleksi Buku

Diposting oleh jalapustaka

Sumber : Radar Pekalongan, Rabu, 06 Mei 2009

Perpustakaan Jala Pustaka yang sudah berdiri sejak setengah tahun lalu, masih kurang koleksi bukunya. Padahal syarat minimal sebuah perpustakaan, setidaknya harus memiliki sekitar 1000 eksemplar buku.

Pengelola perpustakaan dan rumah baca Jala Pustaka Balya mengungkapkan, sejak berdiri perpustakaan sekitar setengah tahun lalu, hingga kini belum adanya penambahan koleksi buku. Pihaknya sudah mengajukan proposal ke pihak pemerintah untuk penambahan koleksi buku.

"Sampai saat ini masih dalam proses bantuan buku tersebut," tandasnya. Menurutnya, adanya kesulitan di rumahnya mengelola perpustakaan, karena koleksi buku yang terbilang tidak banyak. Diharapkan adanya pihak relawan yang membantu koleksi buku.

"Jika buku kami sedang dipinjam pembaca, koleksi buku yang ada di rak jadi terlihat sangat sedikit. Sehingga kurang menarik bagi pembaca untuk datang ke rumah baca," ujarnya.

Kata dia, kenyataan terjadi di masyarakat, perpustakaan belum dipandang sesuatu yang sangat penting keberadaannya di tengah-tengah masyarakat. Disamping itu, kurangnya dukungan masyarakat sekitar, jika akan diadakannya kegiatan. "Masyarakat masih melihat perpustakaan sebelah mata," katanya.

Dia menambahkan, perpustakaan Jala Pustaka bertujuan menjaring semua golongan masyarakat untuk bergabung dalam memerangi kebodohan di masyarakat. Terutama dalam bidang pendidikan melalui membaca. "Memberikan ruang dan kesempatan bagi pelajar dan masyarakat umum untuk menjelajahi dunia lewat buku," jelasnya.

Balya menguraikan, koleksi bacaan buku yang ada baru sekitar 500 judul buku. Terdiri buku karya sastra, pelajaran, agama, fiksi, pengetahuan umum, komik, buku anak-anak. Buku tersebut sebagian besar adalah koleksi pribadi pendiri dan pengelola, serta sumbangan beberapa penggiat literasi lain.

"Peminjam buku di sini tidak dikenakan biaya, alias gratis. Syaratnya peminjam hanya mengisi buku pinjaman berjangka waktu maksimal seminggu, dan jika akan diperpanjang datang kembali ke perpustakaan," tandasnya. (ap22)

11 April 2009

Dirikan Rumah Baca Dari Koleksi Pribadi

Diposting oleh jalapustaka

Sumber : Suara Merdeka, Selasa 24 Maret 2009

Keinginan untuk ikut mencerdaskan lingkungan melatarbelakangi kakak beradik, Adi Toha dan Balya mendirikan rumah baca di rumah sederhananya di Jalan Kedungwuni - Kranji Nomor 2 RT 1 RW 9 Kedungwuni Timur Kecamatan Kedungwuni Kabupaten Pekalongan.

Balya saat bertemu dengan Wagub Rustriningsih di pendopo kabupaten, belum lama ini, mengemukakan, rumah baca yang dinamai "Jala Pustaka" dibuka kali pertama oktober 2008 dengan koleksi buku-buku pribadi.

Dia sempat menyampaikan pembukaan rumah baca itu ke Wagub dan Kepala Perpustakaan Nasional dan Kepala Badan Arsip Jawa Tengah.

Dia menyebutkan, koleksi buku di rumah bacanya 500 eksemplar. Ia mengaku kesulitan saat mengelola perpustakaan di rumahnya itu dengan koleksi buku yang terbilang tidak banyak itu. "Kalau dipinjamkan, koleksi buku yang ada di rak jadi sangat sedikit, sehingga kurang menarik bagi pembaca untuk datang ke rumah baca," ungkap dia.

Keluhan tersebut ditanggapi pihak Badan Arsip Jawa Tengah dengan pernyataan akan memberikan bantuan buku sebagai tambahan koleksi rumah baca. Kepala Kantor Perpustakaan Arsip Kabupaten Pekalongan, Imron Khozin, menyatakan siap memfasilitasi penyaluran bantuan dari propinsi untuk rumah baca tersebut. "Memang untuk sirkulasi, rumah baca atau perpustakaan harus mempunyai sedikitnya 1000 eksemplar buku," tutur Imron Khozin. (S Kholidah-61)

10 April 2009

Nonton Bareng "Laskar Pelangi" di Rumah Baca Jala Pustaka

Diposting oleh jalapustaka



Selesai Jumatan, beberapa anak kecil mulai berdatangan ke Rumah Baca Jala Pustaka. Siang itu, 10 April 2009, Rumah Baca Jala Pustaka mengadakan kegiatan kecil nonton bareng film Laskar Pelangi. Kegiatan ini merupakan kegiatan kedua, setelah sebelumnya, pada 26 Maret 2009 mengadakan kegiatan Silaturahmi Pembaca Jala Pustaka, yang dihadiri oleh sekitar 50 pembaca mulai dari anak-anak dan remaja.

Kegiatan nonton bareng ini dipersiapkan hanya dalam dua hari sebelum acara. Dalam dua hari sebelum hari H, beberapa relawan Jala Pustaka telah menempelkan pamflet pengumuman dan menyebarkan undangan kecil kepada anak-anak di seluruh kampung untuk ikut hadir menonton film tersebut.

Rencana, film akan diputar di komputer, namun berhubung layar monitornya sedang rusak dan hanya menampilkan setengah layar, maka para relawan pun berinisitaif untuk mengusahakan vcd player biasa. Film Laskar Pelangi yang akan diputar adalah dalam format vcd, bukan roll film, itu pun pastinya vcd bajakan. hehehe. Maklum, kami tidak memiliki cukup dana untuk membeli yang asli. Dan tentu saja, acara ini tanpa sepengetahuan Andrea Hirata dan produser film. Hehehe. Mohon Maaf. Lagipula, tujuan kami bukan komersil, tapi semata-mata ingin memberikan semacam hiburan yang mendidik kepada anak-anak di sekitar lokasi Jala Pustaka.

Seperti diketahui, bahwa "Laskar Pelangi" bercerita tentang sekumpulan anak-anak kecil miskin di Belitong yang berjuang untuk mendapatkan pendidikan, berjuang untuk tetap bersekolah meskipun dengan segala keterbatasan yang ada. Dan kami pikir, pesan moral dalam Laskar Pelangi sangat bermanfaat jika disampaikan kepada anak-anak kecil tersebut.

Acara dimulai pada jam 3 sore. Satu jam sebelum dimulai, kami khawatir, vcd player yang telah diusahakan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Padahal puluhan anak-anak sudah berkumpul di depan layar TV. Terpaksa, salah satu relawan meminjam vcd player tetangga yang lain. VCD player kedua yang dipinjam pun tidak berfungsi sebagaimana mestinya, pintu cd nya macet dan tidak bisa dibuka. Sementara waktu telah semakin dekat dengan jadwal acara. Akhirnya, sang pemilik player pun dipanggil dan diminta bantuannya untuk membuka pintu cd tersebut. Ternyata, dengan hanya dipukul bagian atasnya, pintu akhirnya bisa terbuka. Legalah hati kami.

Puluhan anak kecil usia sd dan smp, bahkan sma sudah berkumpul di depan layar tivi, tidak sabar menunggu film segera diputar. Dalam catatan daftar hadir, terdapat 61 orang.

Tepat jam 3 sore, acara dimulai dengan pembukaan oleh Balya, pengelola Rumah Baca Jala Pustaka, dengan memberikan semacam pembukaan dan informasi singkat mengenai film yang akan ditonton. Setelah itu, film segera diputar. Para penonton mulai berdesakan di ruangan kecil Jala Pustaka yang sempit dan gerah. (Maklum, tanpa AC. Huahahaha). Untuk mengurangi kegerahan, kami pun berinisiatif meminjam kipas angin tetangga. Alhamdulilah, bisa sedikit memberikan rasa sejuk sempriwing.

Film pun mulai bergulir. Adegan demi adegan tampil di layar tivi yang kecil. Anak-anak dengan penuh konsentrasi melihat dan mendengar kisah Ikal, Mahar, Lintang dan kawan-kawan Laskar Pelangi, melihat perjuangan Ibu Muslimah dan Pak Harfan dalam mengajar di Sekolah Dasar yang hampir rubuh. "Jangan pernah menyerah dalam mengejar cita-cita. Hidup lah dengan memberi sebanyak-banyaknya, bukan meminta sebanyak-banyaknya." Itulah salah satu kalimat Pak Harfan dalam film tersebut.

Gelak tawa sesekali terdengar, terutama saat anak-anak melihat ulah Ikal yang tengah jatuh cinta kepada A Ling. Juga saat Lintang terhambat perjalanannya menuju lomba cerdas cermat karena dihadang oleh Buaya.

Dengan jajanan seadanya, air putih dan beberapa bungkus permen, anak-anak itu mengikuti jalannya film sampai akhir.