RUMAH BACA JALAPUSTAKA

"Menjala Dunia Dengan Membaca"

Subscribe
Add to Technorati Favourites
Add to del.icio.us
13 Mei 2010

Sepeda Pustaka Pekalongan : Genjotan keHIDUPan oleh Daurie

Diposting oleh jalapustaka

Kedungwuni Timur, 13 km pinggiran Pekalongan, Taman Baca Jala Pustaka. Rumahnya penulis fiksi fantasi Indonesia bernama Adi Toha – novel debutannya Valharald – disulap mirip acara kawinan dgn tenda di seperempat badan jalan. Terbayang serunya kegiatan 3 hari ke depan di otakku. Link Site Taman Baca Jala Pustaka, silakan intip blognya hhttp://jalapustaka.blogspot.com/

Selepas perjalanan 3 jam dari Boja – Kendal, istirahat tarik napas sebentar, pesulap dari Swiss produk Boja langsung performance, apa aja sulapannya pasti rame dan yang penting tepuk tangan. Selanjutnya langsung ngegowes sepeda jepang, Pekalongan lagi demam sepeda Jepang – sepeda perempuan dengan keranjang di depannya – bersama 40 anak-anak Kedungwuni.



Pasar, Rumah Sakit, Pegadaian, Taman Makam Pahlawan
Siang panas terik tetap semangat, pasar yang disambangi kebanyakan pedagangnya tutup, akhirnya perjalanan lanjut menuju kantor pegadaian. Kedatangan serombongan anak-anak naik sepeda dan panitia yang pegang TOA berujung kecurigaan, bukan sambutan hangat yang diberikan, namun pertanyaan, “Mau demonstrasi yah ?” … hahaha …

Di halaman pegadaian obrolan mengalir, anak-anak dijelaskan tentang pegadaian dan bedanya dengan rentenir, aku juga baru tau kalo ternyata wayang juga termasuk barang yang boleh digadaikan.

Setelah anak-anak menuliskan pengalaman mereka di Pegadaian, perjalanan dilanjutkan menuju Rumah Sakit Islam Muhammadiyah, kalo di sini lebih asik, disediakan ruang AC nan sejuk, minuman dingin dan kue. Manajemen rumah sakit menjelaskan beragam profesi yang terkait dengan medis, anak-anak mencatatnya dengan semangat, siapa yang bertanya dapat door prize. Pelayanan prima manajemen RS, semua anak disediakan minuman dingin dan kue … Kereeennn….



Tujuan akhir hari itu adalah Taman Makam Pahlawan, perjalanan ini cukup berat karena naik turun tanjakan dan treknya panjang, hasilnya sampai lokasi makam sebagian peserta dan panitia tergeletak dengan baju basah. Sore itu cuaca menyengat, kami juga masih adaptasi dengan sepeda dan cuaca Pekalongan yang panas.

Aku tak beruntung hari pertama Sepeda Pustaka, sepeda yang kutunggangi sadelnya rusak dan bergoyang lincah, cuma sebelah pantat yang bergantian menapak di sadel, hasilnya bukan kakiku yang pegal, justru pantat yang kesemutan. Sehabis maghrib perjalanan diakhiri di Taman Baca Jala Pustaka, agak seram perjalanan sehabis gelap karena gak ada satupun sepeda yang berlampu.

Malam Pertama : Bedah Buku Perdana Valharald & Bibliotheraphy
Setelah istirahat, obrolan diskusi sastra digelar malam itu dengan beragam tema, bedah buku novel fiksi fantasi “Valharald” hasil mimpi Adi Toha yang diperpanjang, malam itu dikhawatirkan novel bergenre fiksi fantasi melalui proses kreatif mimpi tersebut kemungkinan besar akan diletakkan di rak Primbon/Klenik di toko-toko buku besar, mereka memang kadang suka salah meletakkan buku, buku fiksi boleh jadi diletakkan di rak buku psikologi, buku puisi bisa nyasar di rak buku ekonomi.

Nisa [Komunitas Esok Surabaya] juga menggelar tema Bibliotheraphy, membaca bisa jadi terapi buat stres ringan, gak berlaku terapinya buat trauma/phobia akut. Obrolan menjelang larut malam itu menganugerahkan penghargaan buat Nisa dengan gelar “Psikolog Sastra Stres”

Yoga Pinggir Kali Ketemu Alien
Pagi hari dibangunkan telepon Opang [Nature Trekker, Penulis Pengelana, Indonesia Bertindak] yang ternyata sudah berdiri di depan pintu TBM Jala Pustaka. Aktifitas pagi hari gak kalah asiknya, kalo event ada makhluk bernama Sigit, pagi – pagi selalu ada ritual Yoga, kali ini istimewa, yoganya di pinggir sungai besar nan jernih di halaman belakang sebuah Madrasah. Opang yang datang pagi-pagi dari Jakarta, langsung ikut melemaskan badan bersama kawan-kawan, biar makin hot kalo nanti ngegenjot sepeda.

Di sela Yoga, lewat seorang pencari pasir dan batu sungai dengan ban dalam bekas truck yang super besar di atas kepalanya. Mirip Alien dari film star trek.

Selesai yoga lanjut dengan sarapan nasi megono di pinggir kali, tak terlukis dengan kata – kata, nuansa sarapan pagi seperti ini tak mungkin dilakukan di pinggiran kali ciliwung di Jakarta yang udah hitam dan bau.



Menelusuri Jejak Max Havelaar sambil menikmati Kopi & Teh Max Havelaar
Awalnya sekedar ngumpul pagi jelang siang, Kang Ubai membuka obrolan soal Taman Baca Multatuli yang dikelolanya di Lebak Banten. Akhirnya kusambut dengan membuka diskusi resmi, sebab Kang Ubai besok malam harus pulang ke Lebak.

Sesajen disiapkan, kopi dan teh Max Havelaar dari Belanda yang dititipkan pejalan dari Swiss produk Boja diseduh. Poster Max Havelaar digelar. Moderator sastra mulai “on” setelah meneguk kopi nikmaaatt…

Kang Ubai mengalirkan cerita, nun jauh di kampung bernama Satap – Ciseel [Lebak – Banten], belum ada listriknya, seorang guru bernama Ubai membuka taman baca “Multatuli”, jejak Multatuli memang bertebaran di Banten berikut kontroversinya, dia dianggap penjajah, namun juga pembela pribumi.

Menarik karena Kang Ubai memulai langkah serius bersama 16 orang murid SLTP, membikin “Reading Group Multatuli”, aktifitas serius yang tak cuma sekedar ngumpul dan membaca buku bersama, namun membedah setiap jejak yang tertulis di helai demi helai buku. Mereka menelusuri bekas rumah Multatuli yang sekarang tinggal temboknya di belakang Rumah Sakit. Link blognya http://readingmultatuli.blogspot.com/

Mungkin ini adalah reading group Multatuli pertama dan satu-satunya di Indonesia dan di negeri Belanda sekalipun tak terdengar santer kabarnya ada reading group Multatuli. Dilakukan sekumpulan murid SLTP dan gurunya, di sebuah Taman Baca nun jauh di perkampungan yang gak ada listriknya. Tepuk tangan buat Kang Ubai….prikitiiiiwww… intip buku mukanya di link http://www.facebook.com/profile.php?id=1500706260

Dikawal Patroli Polisi : Museum Batik, Pantai dan Akuarium Besar
Jalur sepedaan hari kedua memasuki kota Pekalongan, jumlah anak yang ikut bertambah jadi sekitar 65 orang, berhubung melewati perkotaan dengan banyak persimpangan dan lalu lintas padat, maka diputuskan perjalanan hari itu dikawal patroli polisi bermobil, lengkap dengan sirine dan lampu kelap – kelip, seru sekali berasa seperti sekumpulan manusia penting, sesekali merasa jadi orang penting tak apa – apalah, anak – anak pinggiran perkotaan selama ini terbiasa digilas beragam kepentingan atas nama rakyat.



Alamak !! … kalo di kota besar cuma mobil pejabat dan rombongan motor gede milik orang-orang super kaya yang dikawal polisi. Maka di Pekalongan serombongan mahkluk bersepeda BMX, onthel, dan sepeda jepang juga dikawal patroli polisi bermobil, anak-anak girang bukan main, 13 kilometer PP gak berasa menggenjot sepeda. Sambutan warga Pekalongan sepanjang jalan juga gak kalah seru, mirip rombongan artis yang tebar senyum dan lambaian tangan dadah-dadahan sepanjang perjalanan.

Sampai di museum Batik peserta dihitung ulang, takut ada yang hilang di perjalanan. Es lilin warna – warni dibagikan segarkan tenggorokan. Gak semua orang Pekalongan pernah menginjakkan kaki di museum batik, meski Pekalongan terkenal dengan kota Batik, peserta bolehlah berbangga, Balya [Panitia, Jala Pustaka] juga bikin pengakuan bahwa dari kecil sampai dia sekarang kuliah, baru kali ini ke museum batik.

Di museum ini gak bebas foto – foto, takut design batiknya dicuri, trauma sama negeri tetangga. Akhirnya disepakati bahwa kami boleh foto kegiatan anak-anak di dalam museum. Aku sempat berdebat dengan satpam museum karena memfoto seorang anak yang menulis persis di depan batik, dicurigai memfoto design batiknya.



“Kegiatan ini jelas menunjukkan penghargaan kami atas budaya, anak-anak menuliskan pengalaman mereka tentang batik, kalo saya mau mencuri design batik sih gampang, ada banyak bukunya di toko buku atau searching di google. Paranoid yang kurang cerdas, lagipula kalo soal design batik dicuri, bukannya emang udah kejadian ?, kemana aja selama ini ?”, begitulah semburan argumenku.

Aku akhirnya menunjukkan hasil fotoku yang ada di kamera pada penjaga museum, langsung di depan biji matanya dan memintanya menunjukkan foto mana yang pantas dicurigai ?, hasilnya nihil. Aku jadi gak mood berlama-lama di dalam museum dan memilih nongkrong di teras disambut hujan deras.

Aku terkaget-kaget melihat seorang Bapak naik sepeda basah kuyup kehujanan, rupanya Bapaknya Adi Toha menyusul, beliau khawatir dengan perjalanan kami karena cuaca mendung, beliau menggenjot sepeda sendirian 13 kilometer dan kehujanan. Salut sama bapaknya Adi Toha yang selalu menjaga dan memperhatikan kami semua selama berada di rumahnya dan selama berkegiatan.

Perjalanan kemudian dilanjutkan ke Pantai, lokasi wisata bahari. Hujan reda menyisakan gerimis, aku suka udara sejuknya, genjotan sepeda jadi makin yahud. Anak – anak kemudian mengunjungi museum ikan air tawar dan laut. Berjumpa dengan hiu putih, belut laut, dan beragam ikan lainnya.

Dalam perjalanan menuju pulang ada juga kejadian unik sekaligus menyebalkan, 3 [tiga] orang anak seusia SLTP dengan dandanan ala Punk mencegat sepeda anak-anak dan langsung membonceng. Aku teriak dari belakang kalo mereka boleh numpang boncengan tapi mereka yang menggenjot sepedanya, kasihan anak-anak kecapekan sepanjang siang dan sore menggenjot sepeda. Seorang dari mereka berlari menuju ke arahku, tanpa permisi meloncat ke sadel belakang. Kurang asem anak ingusan ini, keliaranku bangkit, langsung kuhentikan sepeda dan kutarik kerah baju, kududukkan di sadel depan dan menyuruhnya mengayuh.

Kali ini cecunguk kecil kena batunya, dipikirnya aku takut sama dandanan ala film The Crow. Anak-anak yang kuurusi di jalanan Jakarta jauh lebih sangar, sekali gentak cecunguk kecil itu udah loyo. Kalo gak mikir panjang, sudah kusikat bajindul kecil bergaya selangit itu di jalanan.

Ternyata Polisi Sastra
Perjalanan hari itu kembali kemalaman di jalan, pukul 7 malam kami baru sampai kembali ke base camp TBM Jala Pustaka. Polisi yang mengawal dengan mobil patroli akhirnya mengawal kami kembali, Polisi itu ternyata juga penggemar bacaan sastra, malah sempat berbincang dengan Adi Toha di ruang taman bacanya. Akhirnya Adi Toha membubuhkan tanda tangan pertama di novel debutannya untuk Bapak Polisi yang baik hati. Kami beri penghargaan gelar “Polisi Sastra”

“Ini tanda tangan pertama untuk novel saya lho, Pak. Novelnya baru dibedah publik pertama kali nanti di Yogya, belum resmi ndiluncurkan”, ujar Adi Toha yang disambut Polisi Sastra dengan girang.

Mengurai Komunitas Pejalan & Membedah Kafka di Tepi Jalan Kedungwuni
Malam kedua, Marawis membuka parade diskusi di tenda pinggir jalan. Aku terkenang masa kecilku di Kalimantan, aku dulu vokalis grup Marawis kalo lagi ada hajatan maulid di kampungku.



Sesi diskusi malam itu membedah buku terjemahan Kafka “Proses” oleh Sigit, dilanjutkan Opang yang bertutur tentang komunitas pejalan yang suka bikin catatan perjalanan. Diskusi hangat mengalir menuju malam, beragam obrolan mengenai perjalanan Sigit menyambangi beragam negara di dunia, buku catatan perjalanan pertamanya “Menyusuri Lorong-Lorong Dunia” merangkum catatan perjalanan 12 negara. Buku keduanya merangkum perjalanan 7 negara. Opang malam itu juga tampil ciamik dengan kisah komunitas tukang jalan-jalan.

Kapal Titanic di Bendungan, Rumah Baca Pintar, dan Masjid Kranji
Pagi hari ketiga, selepas Opang berpamitan balik ke Jakarta. Aku, Tommas, “Satria Berkuda” Adi Toha, dan Sigit menyusuri jalanan pinggiran sungai menuju Bendungan besar di Kedungwuni. Adi Toha mengisahkan mitos bahwa pernah ada seorang nelayan pemancing ikan yang kemalaman dan dikejar kapal sebesar Titanic di sungai itu, makanya selepas maghrib gak ada penduduk yang berani nongkrong di sana. Penutur kisah adalah seorang penulis novel fiksi fantasi, maka aku dan Tommas memakluminya.



Menjelang siang hujan turun deras, anak-anak yang siap berkumpul akhirnya bermain di taman baca dan kemudian pulang sebentar buat makan siang dan menunggu hujan reda. Beruntung cuaca mulai bersahabat, selepas dzuhur acara sepedaan digelar lagi, kunjungan pertama ke Rumah Baca Pintar yang lokasinya dekat dengan Jala Pustaka, rumah baca mandiri yang didirikan sebuah keluarga sederhana, aktifitasnya keren dan aku suka. Link group FB Rumah Baca Pintar http://www.facebook.com/group.php?gid=388960500032

Sehabis mengunjungi Rumah Baca Pintar, berjalan lagi ke mesjid Kranji yang lokasinya juga berdekatan, anak – anak belajar tentang historis mesjid tersebut ditemani seorang ustadz yang memotivasi anak – anak agar rajin membaca.

Surveyor Bajindul yang Harus Dicuci Otaknya
Aku waktu itu memutuskan kembali lagi dan menunggu di Rumah Baca Pintar karena ada yang harus kuluruskan tentang Rumah Baca/Taman Baca yang mereka kelola sungguh sangat mandiri dan layak jadi percontohan. Aku ceritakan tips mendapatkan buku gratisan atas nama pertemanan dan jaringan. Aku menekankan kreatifitas yang bisa dibuat dalam kegiatan. Ini gara – gara ada makhluk sok tahu yang jadi surveyor event dan sempat “kecelakaan” ngomong gak karuan tentang beragam program pemerintah yang sebenarnya melemahkan dan gak mendidik kemandirian.

Lantang kukatakan, makhluk sejenis itu gak terlalu tulus, mereka mendompleng kegiatan demi mendapat angka kredit buat naik pangkat. Mereka seakan berbaik hati dan berusaha merayu pengurus taman – taman baca buat mengajukan proposal permintaan bantuan buku, kelak akan mereka jadikan program anggaran pengadaan buku yang juga sama gak jelasnya. Dasar makhluk Bajindul yang harus dicuci otaknya, meminjam istilah Sigit, makhluk sejenis itu memang layak disebut “Bajindul”. Aku suka aja, meski gak tau arti persisnya, kayaknya enak aja kalo diucapkan lidah, terkesan lucu dan menggelikan … Bajindul !! … hehehe …

Tukang Tenun Rp. 1200 Rupiah/Meter
Genjotan selanjutnya menuju perajin ATBM [Alat Tenun Bukan Mesin], cukup jauh jaraknya dan tetap asoy sebab melintasi jalan alternatif yang pemandangannya menghijau. Sesampainya di lokasi perajin tenun tradisional, anak – anak terlihat semangat, beberapa dari mereka bahkan mengkudeta dan langsung mencoba alat tenun, hasilnya jelas bikin pusing penenun yang polanya jadi amburadul.



Penenun rata – rata berusia muda, kisaran usia SLTP, tak sekolah dan terpaksa bekerja, gajinya Rp. 1200 per meter, sehari maksimal mereka bisa menghasilkan tenunan 8 s.d. 10 meter, waktu kerjanya jam 7 pagi s.d. 4 sore. Artinya upah harian mereka rata – rata Rp. 9600, -. Maksimal seharinya upah mereka Rp. 12000, -.

Banyak anak – anak peserta yang membisu ketika mendengar percakapanku dengan pekerja anak di sana. Akupun seperti berada di negeri antah berantah, meski kakiku memijak bumi realitas. Ada yang menggayut berat di dalam dadaku, entah apa namanya ?

Lokasi terakhir adalah pabrik kain dengan alat mesin, aku seperti memasuki zaman puluhan tahun lampau melihat peralatan mesin yang digunakan. Pekerja di sini rata – rata usianya dewasa dan terlatih, upah mereka tak beda jauh dengan tukang tenun manual, hasil kerjanya dihitung berdasarkan panjang kain yang mereka bisa hasilkan serta warnanya.

Sulapan Malam, Wartawan Sastra, Photography, dan Obrolan Cerpen
Malam terakhir sebelum parade diskusi dimulai, kami menepati janji buat main sulap di Rumah Baca Pintar. Audiens ternyata membanjir, kamera Tommas tak sanggup memotret semua kepala anak – anak yang hadir.

Aku dan Sigit memainkan duet teater kreasi dadakan sebelum Sigit tampil menjelma magician. Tetap saja kupromosikan Sigit adalah pesulap yang datang dari Swiss, biar anak – anak makin terkesima, kok ada Pesulap dari Swiss bahasa jawanya lancar banget … hahaha … Sulapan malam itu sukses berat, audiens dari anak – anak Madrasah Ibtidaiyah memenuhi halaman rumah.

Diskusi malam terakhir di Pekalongan memperkenalkan profesi Wartawan buat anak – anak, Kang Dalal [Radar Pekalongan] dan Mas Burhan [Suara Merdeka] bersama Heri CS [Jurnal Nasional]. Anak – anak malam itu disuguhkan cerita tentang alternatif profesi, hangat dan meriah diskusinya, nara sumber adu keras suaranya dengan suara mobil dan motor yang lewat persis di sisi panggung. Itulah keunikan dan kesan tiada duanya obrolan di Kedungwuni, dilakukan untuk bisa sedekat mungkin dan menyatu dengan kehidupan masyarakatnya, makanya dibikin di dekat jalan raya, biar gak cuma resepsi kawinan aja yang bisa pasang tenda, orang berdiskusi juga bisa pasang tenda.

Obrolan selanjutnya pindah lokasi ke dalam ruang Jala Pustaka, Tommas [Photographer Hukum Sastra] malam ini berhasil mematahkan mitos di kepala seorang peserta bernama Leni [Limbangan – Boja], bahwa lelaki gondrong ternyata identik dengan bakat dan kemampuan mumpuni. Tommas memang anak muda bertalenta di bidang photography, di benakku dia kelak akan jadi Photographer handal negeri ini.



Kawan – kawan penulis Pekalongan dan Yogya juga meramaikan suasana, gara – gara obrolan Dwi Cipta [Yogya, karib Shiho] aku jadi terkenang Shiho, apa kabarnya di Jepang sana ? … aku pakai celana batik pemberianmu di event ini. Malam itu boleh dibilang diskusi terpanas sepanjang event, obrolan menukik tajam dan tetap kritis, apalagi ditimpali komentar dari jurnalis – jurnalis muda. Hasil diskusi dan obrolannya tayang di edisi harian Suara Merdeka, contekan beritanya bisa dibaca di catatan FB Adi Toha http://www.facebook.com/jalaindra#!/notes/adi-toha-jalaindra/rumah-baca-jala-pustaka-demi-pembaca-ruang-tamu-digusur/386617135678 .

Kawan penyair bernama Catur, malam itu ditahbiskan menjadi Penyair maraton 7 kilometer, sebab dia pernah melakukan pembacaan puisi maraton sepanjang 7 kilometer. Ide menarik, unik, dan kreatif.

Tulisan semua anak – anak peserta event nantinya akan dikumpulkan dan dijadikan buku, seperti biasa buku akan dicetak sendiri, dibagikan untuk peserta dan kawan – kawan yang berminat. Tujuan kegiatan ini memang agar anak – anak bisa menuliskan apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan dengan pikiran mereka sendiri. Sikap dan pikiran kritis yang ingin ditularkan pada anak – anak peserta dengan melihat dan merasakan langsung beragam profesi serta kenyataan di lingkungan mereka sendiri.

Gelaran event tahunan di Taman Baca sindikat pertemanan di Pekalongan penuh keunikan, kesederhanaan, namun menggigit. Pekalongan [Jala Pustaka] menjadi tuan rumah tahun ini, tahun 2008 dilakukan di Pondok Maos Guyub [Boja – Kendal], dan tahun 2009 di Istana Rumbia [Wonosobo].

Kegiatan yang menginjak tahun ketiga ini berjalan dalam sunyi, tanpa nama, tanpa sponsor, tanpa niat publikasi, semuanya berjalan atas nama pertemanan dan kesamaan keinginan untuk bisa berbuat sekecil apapun. Kawan – kawan yang jadi panitia dan nara sumber datang dari Pekalongan, Jakarta, Surabaya, Semarang, Bogor, Lebak – Banten, dan Yogya. Semuanya relawan, hadir atas nama pribadi, meski berasal dari beragam profesi dan komunitas.

Terima kasih buat Adi Toha, Balya, dan segenap keluarga besar Jala Pustaka serta warga Kedungwuni. Kalian semua luar biasa, hangat, ramah, dan bikin betah selama di Pekalongan.

Sampai ketemu tahun depan di Taman Baca Multatuli [Lebak – Banten], menyusuri jejak Multatuli bersama reading group Max Havelaar, tentunya sambil minum kopi Max Havelaar … toast … cheers …

0 komentar:

Posting Komentar